Sekilas Masjid dan Etika Profetik
Kata masjid terulang sebanyak dua
puluh delapan kali di dalam Al-Quran. Dari
segi bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata sajada-sujud,
yang berarti patuh,
taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Meletakkan dahi,
kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh
syariat, adalah bentuk
lahiriah yang paling nyata
dari makna-makna di atas. itulah sebabnya mengapa bangunan yang
dikhususkan untuk melaksanakan
shalat dinamakan masjid, yang artinya "tempat bersujud." (M.
Quraish Shihab, 1999)
Masjid
merupakan suatu tempat yang sakral bagi kaum muslim dikarenakan masjid sebagai
tempat beribadah dan mendekatkan diri
pada Allah. Masjid di zaman merupakan pusat pembinaan ruhiyah (tarbiyah
ruhiyah) umat Islam. Di masjid ini ditegakan shalat lima waktu
secara berjama’ah. Masjid berperan untuk membina dan meningkatkan kekuatan
ruhiyah (keimanan) umatnya. Dalam konteks ini sebaiknya dihayati firman Allah
dalam surat An-Nur;36-37: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang
telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNYA di waktu pagi dan petang,
orang-orang yang tidak dilalaikan oleh urusan bisnis dan perdagangan atau
aktivitas apapun dari mengingat Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat,
mereka takut akan suatu hari, di mana pada hari itu hati dan penglihatan
menjadi guncang”
Profetik
berasal dari kata prophet yang berarti nabi. Kata profetik juga menjadi
icon dalam perjuangan pembebasan yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan
Amerika Latin. Filosof muslim Muhammad Iqbal (turut mempengaruhi pemikiran
seorang penggagasan ilmu sosial profetik
Indonesia Kuntowijoyo dengan integrasi antara ta’muruna bil ma’ruf, tan
hauna ‘anil munkar dan tu’minuna billah. Selain itu, Roger Goraudy menguraikan profetical philoshopy dalam
menanggulangi peradaban barat yang secularism yang menyebabkan ketimpangan
sosial dalam masyarakat. Sedangkan etika profetik, mengutip dari perkataan
Abdul Quddus seorang mistikus Islam dari Gangga “Muhammad dari jazirah Arab ke
Mi’raj, ke langit yang setinggi-tingginya dan kembali. Demi Allah aku
bersumpah, jika sekiranya aku sampai mencapai titik itu, pastilah sekali-kali
aku tidak akan kembali lagi ke bumi.” Kisah tersebut memunculkan dua macam kesadaran
dalam manusia, dimana keberjumpaan dengan Tuhan dianggap final dan lebih
menetap disana, sedangkan yang lain menganggap itu merupakan pengalaman dalam
ibadah yang harus ditransformasikan pada masyarakat. Kesadaran itu, menjadi etika dalam menyikapi
realitas sosial, terbagi menjadi dua yaitu kesadaran mistik dan kesadaran
profetis. (Muhammad Iqbal, 1978)
Kuntowijoyo
menguraikan dan menafsirkan secara kreatif Surat Al Imran ayat 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar dan beriman kepada Tuhan”. Makna yang dapat dipetik dalam surat tersebut menurutnya
adalah; pertama, konsep umat terbaik, kedua, aktivisme sejarah
(kesadaran sejarah), ketiga, pentingnya kesadaran, dan keempat, etika
profetik. (Kuntowijoyo, 1999)
Etika profetik menurutnya merupakan integrasi dari ta’muruna bil ma’ruf/humanisasi,
tan hauna ‘anil munkar/liberasi dan tu’minuna billah/transedensi.
Etika ini, yang membedakan umat Islam dengan lain dikarenakan pelaksanaan
tersebut secara integral dalam membaca dan memahami realitas sosial. Konsep tersebut menjadikan landasan
dalam melakukan transformasi sosial yang dilakukan oleh Rasul dalam
menyampaikan risalah untuk umatnya. Risalah yang disampaikannya untuk
kemanusiaan dan memanusiakan agar mencapai cita-cita yang diinginkan.
Kata profetik
juga digunakan dalam ilmu sosial, yakni dalam istilah sosiologi
berkarakteristik profetik, sosiologi tersebut merupakan keilmuan dengan
karakteristik partispatoris, mencerahkan serta melakukan perubahan sosial dan
tidak bersifat mendukung penguasa. Keilmuan tersebut bersikap kritis terhadap pemerintahan
serta mengupayakan bersama masyarakat guna menciptakan yang lebih baik. Ilmu
sosiologi profetik bersifat partisipatoris, memiliki serat nilai, dalam
melukukan perubahan dan sesuai dengan cita-cita yang diinginkan atau
berdasarkan nilai yang dianutnya. Perubahan tersebut, dalam sejarahnya terjadi pada masa para Nabi dan
Rasul Allah dalam memberikan dakawah pada kaumnya (M. Abdul Halim Sani, 2011).
Masjid Sebagai Basis Pencerahan dan Pembebasan
Masjid
merupakan “kolam-kolam spiritual” yang akan menghilangkan dahaga spiritual
setiap muslim dalam melakukan pencucian diri untuk menghadap Illahi. Hal ini
dikarenakan, dalam masjid tercermin
dalam kalimat-kalimat azan yang dikumandangkan oleh muazzin. Ketika azan
dikumandangkan setiap muslim diperintahkan untuk menjawab/memenuhi panggilan
itu dan meninggalkan segala aktivitas lainnya.
Ini merupakan suatu bentuk latihan kepatuhan, kedisiplinan, dalam rangka
mendekatkan diri pada Illahi. Tujuan mendirikan shalat adalah untuk
mengingat Allah, “Aqimishalata
Lizikriy”(Q.S.Thaha;14). Mengingat Allah merupakan cara yang tepat untuk
memperoleh ketenangan jiwa dan pikiran, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi
tenteram”(Q.S: AR-Ra’du;28). Oleh karena itu, masjid merupakan tempat
yang ideal untuk menenangkan hati dan pikiran bukan hanya pada sholat fardu
namun pada waktu yang seperti berdzikir pada waktu yang tak terbatas. Apalagi sekarang, di zaman modern ini banyak
orang yang hidup gelisah, namun ketenangan yang dicari tak kunjung datang walaupun
bergelimang harta dan memiliki jabatan yang tinggi. Oleh karna itu, dekat
dengan masjid dan beribadah yang intens dapat menenangkan diri dikarenakan
dekat dengan sumber ketenangan.
Ketengangan
merupakan dambaan dan keinginan dari manusia dalam menjalankan kehidupan yang
dilaluinya dengan cara beribadah kepada Allah. Selain itu, bentuk beribadah
dalam masjid bukan hanya bersifat individual antara manusia dengan Tuhannya,
namun ibadah kemanusiaan. Hal ini, sebagaimana
Masjid juga berperan sebagai tempat pendidikan dan
pengajaran. Pengajaran dan pendidikan
bukan hanya keilmuan yang agama saja namun, keilmuan di dunia sehingga mampu
santri membuat berkembang dalam menjalankan kehidupannya di dunia. Masjid di
zaman Nabi untuk mendidik para sahabatnya dan mengajarkan ajaran Islam dalam
berbagai aspek kehidupan. Di Masjid dilatih para da’i untuk kemudian dikirim ke
berbagai daerah untuk mengajarkan Islam kepada penduduknya. Masjid
juga digunakan sebagai tempat membaca puisi-puisi ruhiyah yang memuji Allah dan
RasulNya, sehingga Nabi mempunyai penyair yang terkenal yaitu Hasan bin Tsabit.
Masjid
berperan sebagai pusat kegiatan social, dimana dibuatlah tenda tempat memberi
santuan kepada fakir miskin berupa uang dan makanan. Masalah sosial seperti pernikahan,
perceraian, perdamaian dan penyelesaian sengketa masyarakat juga diselesaikan
di Masjid. Masjid juga digunakan sebagai tempat bertemunya pemimpin
(pemerintah) dengan rakyatnya untuk bermusyawarah membicarakan berbagai
kepentingan bersama dalam menyelesaikan persolan yang terjadi dalam masyarakat.
Masjid
daerah sekitarnya merupakan pusat kegiatan-kegiatan ekonomi. Sekitar masjid dibangun seperti
baitul mal, dihimpun harta dari orang-orang kaya kemudian didistribusikan
kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan uluran dana lainnya. Kepedulian
dari umat Islam dengan melakukan pembebasan pada fakir miskin yaitu dengan
mengembangkan baitul mal menjadi sumber keungan untuk kaum yang lemah. Masjid setidaknya memiliki dua fungsi.
Pertama fungsi keagamaan, sebagai pusat atau tempat peribadatan
seperti shalat, dzikir, do`a dan `itikaf. Kedua fungsi sosial, sebagai pusat
pembinaan, pendidikan, pengajaran ummat Islam. (Dadang Syaripudin, 2013) Kedua
fungsi tersebut, merupakan dasar dari derivasi etika profetik dalam rangka menjawab
persolaan sesuia dengan nilai-nilai yang diinginkan. Kedua hal tersebut
merupakan pengamplikasian secara singkat kesalehan individual dengan beribadah
kepada Allah dan kesalehan sosial dimana masjid sebagai ruh kegiatan sosial
untuk pembebasan dan pencerahan umat. Sebagaimana dalam etika profetik maka masjid
sebagai basis kebudayaan Islam dengan pengembangan keilmuan Islami dan
peradaban sehingga sesuai dengan nilai-nilai Islam. Kebudayaan tersebut,
ditransformasikan dalam bentuk kesadaran serta merintis master plan khoirul
umah sebagai program praksis kemanusiaan yang memadukan budaya rasional
(ilmu) dengan solideritas mekanik, serta terjaga dan lestarinya alam sebagai
bentuk beribadah kepada Allah Swt. Gerakan ini merealisasikan berbagai aksi dan
pembaharuan amal Ihsan dengan ilmu dari nilai-nilai keagamaan yang memiliki
kesadaran profetis. (M. Abdul Halim Sani, 2011)
Daftar Bacaan
Dadang
Syaripudin, 2013, Masjid dalam Perspektif Sejarah dan Hukum Islam,
dalam; http://www.sangpencerah.com. diakses selasa, 20
Mei 2014.
Kuntowijoyo,
1999, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan
M. Abdul
Halim Sani, 2011, Manifesto Gerakan Intelektual Profetik, Yogyakarta:
Samudera Biru.
M. Quraish Shihab, 1999, Wawasan
Al-Quran, Bandung: Mizan.
Muhammad
Iqbal, 1978, Reconstruction of ReligousThought in Islam, Bandung: Bulan Bintang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar