.

Selasa, 20 Mei 2014

Embrio Etika Profetik dengan Memaksimalkan Masjid

Sekilas Masjid dan Etika Profetik
Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali di  dalam Al-Quran.  Dari  segi bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata sajada-sujud, yang  berarti  patuh,  taat,  serta  tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Meletakkan  dahi,  kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat,  adalah  bentuk  lahiriah yang  paling  nyata  dari makna-makna di atas. itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan  untuk  melaksanakan  shalat dinamakan masjid, yang artinya "tempat bersujud." (M. Quraish Shihab, 1999)
Secara etimologis, masjid diambil dari kata dasar sujud yang berarti ta`at, patuh, tunduk dengan penuh rasa hormat dan takzim. Mengingat akar katanya bermakna tunduk dan patuh, maka hakikat masjid itu adalah tempat melakukan segala aktivitas (tidak hanya shalat) sebagai manifestasi dari ketaatan kepada Allah semata. Sedangkan secara terminologis, dalam hukum Islam (fiqh), sujud itu berarti adalah meletakkan dahi berikut ujung hidung (tulang T), kedua telapak tangan, kedua lutut dan  kedua ujung jari kaki ke tanah, yang merupakan salah satu rukun shalat. Sujud dalam pengertian ini merupakan bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna etimologis di atas. Itulah sebabnya, tempat khusus penyelenggaraan shalat disebut dengan masjid. Dari pengertian sujud secara terminologis di atas, maka masjid dapat didefinisikan sebagai “suatu bangunan, gedung atau suatu lingkungan yang memiliki batas yang jelas (benteng/pagar) yang didirikan secara khusus sebagai tempat beribadah ummat Islam kepada Allah SWT, khususnya untuk menunaikan shalat.  (Dadang Syaripudin, 2013)
Masjid merupakan suatu tempat yang sakral bagi kaum muslim dikarenakan masjid sebagai tempat beribadah dan mendekatkan diri  pada Allah. Masjid di zaman merupakan pusat pembinaan ruhiyah (tarbiyah ruhiyah) umat Islam. Di masjid ini ditegakan shalat  lima waktu secara berjama’ah. Masjid berperan untuk membina dan meningkatkan kekuatan ruhiyah (keimanan) umatnya. Dalam konteks ini sebaiknya dihayati firman Allah dalam surat An-Nur;36-37: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNYA di waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh urusan bisnis dan perdagangan atau aktivitas apapun dari mengingat Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, mereka takut akan suatu hari, di mana pada hari itu hati dan penglihatan menjadi guncang”
Profetik berasal dari kata prophet yang berarti nabi. Kata profetik juga menjadi icon dalam perjuangan pembebasan yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan Amerika Latin. Filosof muslim Muhammad Iqbal (turut mempengaruhi pemikiran seorang  penggagasan ilmu sosial profetik Indonesia Kuntowijoyo dengan integrasi antara ta’muruna bil ma’ruf, tan hauna ‘anil munkar dan tu’minuna billah. Selain itu,  Roger Goraudy  menguraikan profetical philoshopy dalam menanggulangi peradaban barat yang secularism yang menyebabkan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Sedangkan etika profetik, mengutip dari perkataan Abdul Quddus seorang mistikus Islam dari Gangga “Muhammad dari jazirah Arab ke Mi’raj, ke langit yang setinggi-tingginya dan kembali. Demi Allah aku bersumpah, jika sekiranya aku sampai mencapai titik itu, pastilah sekali-kali aku tidak akan kembali lagi ke bumi.”  Kisah tersebut memunculkan dua macam kesadaran dalam manusia, dimana keberjumpaan dengan Tuhan dianggap final dan lebih menetap disana, sedangkan yang lain menganggap itu merupakan pengalaman dalam ibadah yang harus ditransformasikan pada masyarakat.  Kesadaran itu, menjadi etika dalam menyikapi realitas sosial, terbagi menjadi dua yaitu kesadaran mistik dan kesadaran profetis. (Muhammad Iqbal, 1978)
 Kuntowijoyo menguraikan dan menafsirkan secara kreatif Surat Al Imran ayat 110 Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Tuhan”.   Makna yang dapat dipetik dalam surat tersebut menurutnya adalah; pertama, konsep umat terbaik, kedua, aktivisme sejarah (kesadaran sejarah), ketiga, pentingnya kesadaran, dan keempat, etika profetik. (Kuntowijoyo, 1999) Etika profetik menurutnya merupakan integrasi dari ta’muruna bil ma’ruf/humanisasi, tan hauna ‘anil munkar/liberasi dan tu’minuna billah/transedensi. Etika ini, yang membedakan umat Islam dengan lain dikarenakan pelaksanaan tersebut secara integral dalam membaca dan memahami realitas sosial. Konsep tersebut menjadikan landasan dalam melakukan transformasi sosial yang dilakukan oleh Rasul dalam menyampaikan risalah untuk umatnya. Risalah yang disampaikannya untuk kemanusiaan dan memanusiakan agar mencapai cita-cita yang diinginkan.
Kata profetik juga digunakan dalam ilmu sosial, yakni dalam istilah sosiologi berkarakteristik profetik, sosiologi tersebut merupakan keilmuan dengan karakteristik partispatoris, mencerahkan serta melakukan perubahan sosial dan tidak bersifat mendukung penguasa. Keilmuan tersebut bersikap kritis terhadap pemerintahan serta mengupayakan bersama masyarakat guna menciptakan yang lebih baik. Ilmu sosiologi profetik bersifat partisipatoris, memiliki serat nilai, dalam melukukan perubahan dan sesuai dengan cita-cita yang diinginkan atau berdasarkan nilai yang dianutnya. Perubahan tersebut,  dalam sejarahnya terjadi pada masa para Nabi dan Rasul Allah dalam memberikan dakawah pada kaumnya (M. Abdul Halim Sani, 2011).
Masjid Sebagai Basis Pencerahan dan Pembebasan
Masjid merupakan “kolam-kolam spiritual” yang akan menghilangkan dahaga spiritual setiap muslim dalam melakukan pencucian diri untuk menghadap Illahi. Hal ini dikarenakan,  dalam masjid tercermin dalam kalimat-kalimat azan yang dikumandangkan oleh muazzin. Ketika azan dikumandangkan setiap muslim diperintahkan untuk menjawab/memenuhi panggilan itu dan meninggalkan segala aktivitas lainnya.  Ini merupakan suatu bentuk latihan kepatuhan, kedisiplinan, dalam rangka mendekatkan diri pada Illahi.  Tujuan mendirikan shalat adalah untuk mengingat Allah, “Aqimishalata Lizikriy”(Q.S.Thaha;14). Mengingat Allah merupakan cara yang tepat untuk memperoleh ketenangan jiwa dan pikiran, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”(Q.S: AR-Ra’du;28). Oleh karena itu, masjid merupakan tempat yang ideal untuk menenangkan hati dan pikiran bukan hanya pada sholat fardu namun pada waktu yang seperti berdzikir pada waktu yang tak terbatas.  Apalagi sekarang, di zaman modern ini banyak orang yang hidup gelisah, namun ketenangan yang dicari tak kunjung datang walaupun bergelimang harta dan memiliki jabatan yang tinggi. Oleh karna itu, dekat dengan masjid dan beribadah yang intens dapat menenangkan diri dikarenakan dekat dengan sumber ketenangan.
Ketengangan merupakan dambaan dan keinginan dari manusia dalam menjalankan kehidupan yang dilaluinya dengan cara beribadah kepada Allah. Selain itu, bentuk beribadah dalam masjid bukan hanya bersifat individual antara manusia dengan Tuhannya, namun ibadah kemanusiaan.  Hal ini,  sebagaimana  Masjid  juga berperan sebagai tempat pendidikan dan pengajaran.  Pengajaran dan pendidikan bukan hanya keilmuan yang agama saja namun, keilmuan di dunia sehingga mampu santri membuat berkembang dalam menjalankan kehidupannya di dunia. Masjid di zaman Nabi untuk mendidik para sahabatnya dan mengajarkan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Di Masjid dilatih para da’i untuk kemudian dikirim ke berbagai daerah untuk mengajarkan Islam kepada penduduknya.  Masjid  juga digunakan sebagai tempat membaca puisi-puisi ruhiyah yang memuji Allah dan RasulNya, sehingga Nabi mempunyai penyair yang terkenal yaitu Hasan bin Tsabit.
Masjid berperan sebagai pusat kegiatan social, dimana dibuatlah tenda tempat memberi santuan kepada fakir miskin berupa uang dan makanan. Masalah sosial seperti pernikahan, perceraian, perdamaian dan penyelesaian sengketa masyarakat juga diselesaikan di Masjid. Masjid juga digunakan sebagai tempat bertemunya pemimpin (pemerintah) dengan rakyatnya untuk bermusyawarah membicarakan berbagai kepentingan bersama dalam menyelesaikan persolan yang terjadi dalam masyarakat.
Masjid daerah sekitarnya merupakan pusat kegiatan-kegiatan ekonomi. Sekitar masjid dibangun seperti  baitul mal, dihimpun harta dari orang-orang kaya kemudian didistribusikan kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan uluran dana lainnya. Kepedulian dari umat Islam dengan melakukan pembebasan pada fakir miskin yaitu dengan mengembangkan baitul mal menjadi sumber keungan untuk kaum yang lemah.  Masjid setidaknya memiliki dua fungsi. Pertama  fungsi keagamaan, sebagai pusat atau tempat peribadatan seperti shalat, dzikir, do`a dan `itikaf. Kedua fungsi sosial, sebagai pusat pembinaan, pendidikan, pengajaran ummat Islam. (Dadang Syaripudin, 2013) Kedua fungsi tersebut, merupakan dasar dari derivasi etika profetik dalam rangka menjawab persolaan sesuia dengan nilai-nilai yang diinginkan. Kedua hal tersebut merupakan pengamplikasian secara singkat kesalehan individual dengan beribadah kepada Allah dan kesalehan sosial dimana masjid sebagai ruh kegiatan sosial untuk pembebasan dan pencerahan umat. Sebagaimana dalam etika profetik maka masjid sebagai basis kebudayaan Islam dengan pengembangan keilmuan Islami dan peradaban sehingga sesuai dengan nilai-nilai Islam. Kebudayaan tersebut, ditransformasikan dalam bentuk kesadaran serta merintis master plan khoirul umah sebagai program praksis kemanusiaan yang memadukan budaya rasional (ilmu) dengan solideritas mekanik, serta terjaga dan lestarinya alam sebagai bentuk beribadah kepada Allah Swt. Gerakan ini merealisasikan berbagai aksi dan pembaharuan amal Ihsan dengan ilmu dari nilai-nilai keagamaan yang memiliki kesadaran profetis. (M. Abdul Halim Sani, 2011)

Daftar Bacaan
Dadang Syaripudin, 2013, Masjid dalam Perspektif Sejarah dan Hukum Islam, dalam; http://www.sangpencerah.com. diakses selasa, 20 Mei 2014.
Kuntowijoyo, 1999, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan
M. Abdul Halim Sani, 2011, Manifesto Gerakan Intelektual Profetik, Yogyakarta: Samudera Biru.
M. Quraish Shihab,  1999,  Wawasan Al-Quran,  Bandung: Mizan.

Muhammad Iqbal, 1978, Reconstruction of ReligousThought  in Islam, Bandung: Bulan Bintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar